Ujian Iman
(1 Samuel 21: 1-15)
Menjadi buronan dari kejaran aparat negara merupakan mimpi buruk, apalagi kalau semua itu disebabkan oleh fitnahan dari orang lain. Itulah yang dialami Daud. Daud dianggap sebagai kriminal berbahaya dan ia masuk daftar utama pencarian raja Saul. Bila tertangkap, ia akan segera dieksekusi mati. Sebenarnya ia tidak bersalah, malah berjasa bagi bangsa dan negaranya. Rakyat berterima kasih dan memuji keberaniannya dalam perang. Penguasa negaralah yang tidak senang dengan kehadiran Daud.
Dalam pelariannya, Daud melakukan hal yang tidak terpuji, yaitu ia menipu imam Ahimelekh untuk mendapatkan makanan bagi dirinya dan para pengikutnya. Ia ingin mendapatkan makanan bagi dirinya dan para pengikutnya. Ia ingin mendapatkan pedang Goliat untuk keselamatan dan rasa aman dirinya. Ternyata perbuatan Daud itu dimata-matai Doeg (7). Daud menyesali perbuatannya karena mengakibatkan Ahimelekh dan iman-iman lainya dibantai Saul (lih. Sam. 22: 6-23). Ia terpaksa pura-pura gila agar jangan ditangkap musuh. Daud memang menghadapi pergumulan iman yang dahsyat, tetapi Tuhan izinkan hal itu terjadi. Mazmur 56 menggambarkan bahwa dalam pergumulan tersebut, Daud belajar mengerahkan hatinya kepada Tuhan. Dari pergumulan itu, muncul pengharapan bahwa Tuhan akan menolongnya keluar dari permasalahan itu.
Sebenarnya, kita tidak lebih baik dari Daud. Saat tersudut, kadang kita mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari selamat. Misalnya, bisa dengan berbohong atau dengan cara dunia. Bisa saja Tuhan mengizinkan kita melakukan hal itu, tetapi bukan tanpa akibat. Bukankah kita sering menyesali perbuatan yang akibatnya tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tanpa bersandar pada pertolongan Tuhan, kita tidak mungkin selamat. Saat itulah kita sadar bahwa pengalaman tersebut merupakan proses pembelajaran dari Tuhan. Persoalannya, maukah kita diajar oleh Tuhan? Maukah kita mengizinkan Dia membentuk hidup kita sepenuhnya?
Dalam pelariannya, Daud melakukan hal yang tidak terpuji, yaitu ia menipu imam Ahimelekh untuk mendapatkan makanan bagi dirinya dan para pengikutnya. Ia ingin mendapatkan makanan bagi dirinya dan para pengikutnya. Ia ingin mendapatkan pedang Goliat untuk keselamatan dan rasa aman dirinya. Ternyata perbuatan Daud itu dimata-matai Doeg (7). Daud menyesali perbuatannya karena mengakibatkan Ahimelekh dan iman-iman lainya dibantai Saul (lih. Sam. 22: 6-23). Ia terpaksa pura-pura gila agar jangan ditangkap musuh. Daud memang menghadapi pergumulan iman yang dahsyat, tetapi Tuhan izinkan hal itu terjadi. Mazmur 56 menggambarkan bahwa dalam pergumulan tersebut, Daud belajar mengerahkan hatinya kepada Tuhan. Dari pergumulan itu, muncul pengharapan bahwa Tuhan akan menolongnya keluar dari permasalahan itu.
Sebenarnya, kita tidak lebih baik dari Daud. Saat tersudut, kadang kita mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari selamat. Misalnya, bisa dengan berbohong atau dengan cara dunia. Bisa saja Tuhan mengizinkan kita melakukan hal itu, tetapi bukan tanpa akibat. Bukankah kita sering menyesali perbuatan yang akibatnya tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tanpa bersandar pada pertolongan Tuhan, kita tidak mungkin selamat. Saat itulah kita sadar bahwa pengalaman tersebut merupakan proses pembelajaran dari Tuhan. Persoalannya, maukah kita diajar oleh Tuhan? Maukah kita mengizinkan Dia membentuk hidup kita sepenuhnya?