Sombong Rohani Membutakan
(Yohanes 9: 24-34)
Orang-orang Farisi menginterogasi orang buta yang telah sembuh itu dengan pertanyaan yang amat sinis: “Katakanlah kebenaran di hadapan Tuhan (secara harifiah: Muliakanlah Allah).” Sayangnya ucapan itu diberi arti apriori, yaitu menuntut orang tersebut mengaku bersalah. Mereka bukan mencari kebenaran, tetapi menginginkan jawaban yang memuaskan diri mereka sendiri.
Orang-orang Farisi ini sudah memutuskan bahwa Tuhan Yesus bukan berasal dari Allah, sebaliknya Ia adalah orang berdosa (24). Dengan otoritas mereka sebagai pemimpin agama, mereka memaksa orang yang dicelikkan matanya itu menyangkal mukjizat yang dia telah alami. Sikap mereka ini menunjukkan kebodohan dan keterbatasan mereka dalam menafsirkan Hukum Taurat! Kebodohan mereka nyata dari cara mereka memaksakan fakta agar sesuai dengan teori. Menurut mereka, orang berdosa tidak mungkin mengadakan mukjizat seperti itu, maka seharusnya mukjizat itu tidak dapat terjadi. Padahal mukjizat sudah terjadi dan saksinya ada di depan mata mereka. Lalu orang-orang Farisi itu mengacu kepada Musa sebagai guru mereka. Sebelum ini mereka justru salah ketika mengacu kepada Musa (Yoh. 5: 46).
Kesembuhan si orang buta nyata telah mempermalukan mereka (Yoh. 9: 30). Alasannya jelas, mukjizat yang dialami si buta bukan sekedar penyembuhan catat mata, tetapi penciptaan fungsi penglihatan yang tadinya tidak ada. Tentu hanya Allah yang dapat menyertai Pembuat mukjizat tersebut.
Kesombongan rohani membutakan mata orang, bahkan buta terhadap kebodohannya sendiri. Bukti mukjizat bahkan ajaran firman Tuhan sekalipun dapat diputarbalikkan untuk mendukung kedegilan hati seseorang. Karena itu, kita harus merendahkan keterbukaan dan kesediaan belajar terhadap kebenaran.
Doaku: Tuhan, tolong kami agar pengetahuan rohani melibatkan juga hati serta tindakan nyata ketaatan kami kepada-Mu.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Yohanes Bagian ke-1 hari ke-35
Orang-orang Farisi ini sudah memutuskan bahwa Tuhan Yesus bukan berasal dari Allah, sebaliknya Ia adalah orang berdosa (24). Dengan otoritas mereka sebagai pemimpin agama, mereka memaksa orang yang dicelikkan matanya itu menyangkal mukjizat yang dia telah alami. Sikap mereka ini menunjukkan kebodohan dan keterbatasan mereka dalam menafsirkan Hukum Taurat! Kebodohan mereka nyata dari cara mereka memaksakan fakta agar sesuai dengan teori. Menurut mereka, orang berdosa tidak mungkin mengadakan mukjizat seperti itu, maka seharusnya mukjizat itu tidak dapat terjadi. Padahal mukjizat sudah terjadi dan saksinya ada di depan mata mereka. Lalu orang-orang Farisi itu mengacu kepada Musa sebagai guru mereka. Sebelum ini mereka justru salah ketika mengacu kepada Musa (Yoh. 5: 46).
Kesembuhan si orang buta nyata telah mempermalukan mereka (Yoh. 9: 30). Alasannya jelas, mukjizat yang dialami si buta bukan sekedar penyembuhan catat mata, tetapi penciptaan fungsi penglihatan yang tadinya tidak ada. Tentu hanya Allah yang dapat menyertai Pembuat mukjizat tersebut.
Kesombongan rohani membutakan mata orang, bahkan buta terhadap kebodohannya sendiri. Bukti mukjizat bahkan ajaran firman Tuhan sekalipun dapat diputarbalikkan untuk mendukung kedegilan hati seseorang. Karena itu, kita harus merendahkan keterbukaan dan kesediaan belajar terhadap kebenaran.
Doaku: Tuhan, tolong kami agar pengetahuan rohani melibatkan juga hati serta tindakan nyata ketaatan kami kepada-Mu.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Yohanes Bagian ke-1 hari ke-35