Siapa Pemilik Kehidupan?
(Keluaran 20: 13)
Hukuman mati yang dikatikan dengan hak asasi manusia adalah isu kontroversial. Para tokoh Kristen pun terbagi dua. Antara yang pro dan yang kontra. Masalahnya ialah siapa yang memiliki hak atas hidup mati manusia?
Inti perintah keenam ini ada pada hak untuk menentukan hidup dan mati seseorang, yaitu di tangan Allah. Ia yang menciptakan dan memberikan kehidupan bagi manusia maka Dia pula yang berhak untuk mengambil kembali kehidupan itu (Mzm. 104: 29-30). Oleh karena itu, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan hidup atau mati manusia, baik hidupnya sendiri maupun hidup sesamanya.
Namun, Alkitab melalui Hukum Taurat mengajarkan bahwa Tuhan dapat memakai manusia sebagai alat untuk menghukum ciptaan-Nya, termasuk menghukum mati sesamanya. Hukum Taurat mengatur hukuman mati bagi para pezina, penghujat orang tua, penyembah berhala, pembunuh sesama, dan pembunuh dalam peperangan. Semua peraturan ini jelas sehingga tidak bisa ditafsirkan macam-macam. Membunuh berbeda dari menghukum mati. Izin untuk menghukum diberikan kepada para pemimpin umat berdasarkan keterangan para saksi yang dapat dipercaya. Hal ini didukung oleh Perjanjian Baru yang menegaskan kuasa pedang dari pemerintah yang dipilih oleh Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan atas bangsa yang dipimpinnya (Rm. 13: 4).
Gereja harus berani menghadapi dan menjawab pertanyaan kontroversial seperti eutanasia dan aborsi. Hak hidup atau mati manusia tetap di tangan Allah. Namun, Tuhan juga mengatur kehidupan melalui sistem-sistem yang dikembangkan oleh manusia. Oleh karena itu, kita harus selalu bertanya apakah setiap keputusan yang diambil pemerintah maupun Lembaga yang berwenang sedang mewujudkan kehendak Allah atau sedang bermain sebagai “allah”?
Renungkan: Jiwa manusia berharga di mata-Nya, karena itu kita harus menjaga dan menghormatinya.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Keluaran hari ke-37
Inti perintah keenam ini ada pada hak untuk menentukan hidup dan mati seseorang, yaitu di tangan Allah. Ia yang menciptakan dan memberikan kehidupan bagi manusia maka Dia pula yang berhak untuk mengambil kembali kehidupan itu (Mzm. 104: 29-30). Oleh karena itu, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan hidup atau mati manusia, baik hidupnya sendiri maupun hidup sesamanya.
Namun, Alkitab melalui Hukum Taurat mengajarkan bahwa Tuhan dapat memakai manusia sebagai alat untuk menghukum ciptaan-Nya, termasuk menghukum mati sesamanya. Hukum Taurat mengatur hukuman mati bagi para pezina, penghujat orang tua, penyembah berhala, pembunuh sesama, dan pembunuh dalam peperangan. Semua peraturan ini jelas sehingga tidak bisa ditafsirkan macam-macam. Membunuh berbeda dari menghukum mati. Izin untuk menghukum diberikan kepada para pemimpin umat berdasarkan keterangan para saksi yang dapat dipercaya. Hal ini didukung oleh Perjanjian Baru yang menegaskan kuasa pedang dari pemerintah yang dipilih oleh Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan atas bangsa yang dipimpinnya (Rm. 13: 4).
Gereja harus berani menghadapi dan menjawab pertanyaan kontroversial seperti eutanasia dan aborsi. Hak hidup atau mati manusia tetap di tangan Allah. Namun, Tuhan juga mengatur kehidupan melalui sistem-sistem yang dikembangkan oleh manusia. Oleh karena itu, kita harus selalu bertanya apakah setiap keputusan yang diambil pemerintah maupun Lembaga yang berwenang sedang mewujudkan kehendak Allah atau sedang bermain sebagai “allah”?
Renungkan: Jiwa manusia berharga di mata-Nya, karena itu kita harus menjaga dan menghormatinya.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Keluaran hari ke-37