Sejarah Gereja Indonesia (Lanjutan)
Perubahan baru terjadi sejak orang Barat memperhatikan kebutuhan rohani orang pribumi dan mulai mendidik orang Indonesia untuk mengambil tanggung jawab dalam pemberitakan Injil. Walaupun demikian kita harus katakan gereja dari latar belakang VOC pasif di tengah-tengah aktifitas misionaris Barat di Indonesia. Penginjilan, misi dan Amanat Agung selalu dikaitkan dengan orang "bule" yang datang bukan dengan orang Indonesia yang sudah percaya. Baik gereja di Minahasa maupun di Timor tidak dididik dan diikutsertakan dalam penginjilan.
Gereja Protestan Ambon (GPM) merupakan satu perkecualian pada waktu itu. Oleh karena berkat perjuangan Josef Kam, GPM memiliki jauh lebih banyak tenaga, juga tenaga pribumi orang Indonesia dipakai untuk menginjili orang yang belum beragama Kristen. Pada tahun 1882, GPM membawa Injil ke Tanimbar dan sesudah itu ke pulai Kai dan Babar. Selain itu mereka mulai aktif di Seram dan di Papua, secara khusus di Fak-Fak dan di Merauke. Pada waktu gereja Indonesia belum
berjiwa misi GPM bersedia berkorban di tempat di mana belum ada orang Kristen. GPM sendiri membiayai para penginjil dan guru yang harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman mereka lewat 'fonds Indjil.' Kolekte ini diambil oleh kelompok 'Ora et labore' yang sangat setia. Walaupun GPM tidak terbeban untuk penginjilan di antara tetangga mereka yang beragama Islam, mereka bersedia menaati Amanat Agung untuk membawa kabar baik ke pulau-pulau yang lain yang masih animis.
Gereja di Sanggir-Talaud, Halmahera, Sumba dan Irian Jaya dipelopori penginjil atau guru sekolah yang datang dari Ambon untuk membawa Injil kepada masyarakat di pulau-pulau yang lain. Ini merupakan cara bagaimana GPM menaati Amanat Agung. Selain gerakan ini, orang secara pribadi tidak teratur menyaksikan Injil pada waktu mereka merantau ke daerah yang lain. Seperti orang Minahasa yang misalnya merantau ke daerah Toraja (bdk. Mueller-Krueger, 1968: 160, 166). Orang Kristen ini tidak diutus oleh gereja mereka untuk memberitakan Injil, melainkan mereka menaati Amanat Agung lewat kesaksian hidup di lingkungan mereka.
Gereja Jawa mengalami perkembangan yang cukup berbeda daripada gereja Indonesia yang lain. Misionaris Barat yang melayani di pulau Jawa seperti Jellesma di Jawa Timur lebih cepat melibatkan orang pribumi dalam penginjilan, atau gereja di Jawa Tengah yang memberitakan Injil di antara orang Jawa di Lampung Sumatera Selatan dan para pekerja perkebunan di Sumatera Utara, selain itu orang Jawa juga pergi untuk menginjili orang Bali di pulau Bali, tetapi sesudah generasi pertama orang Barat meninggal, gereja Jawa pun ikut perkembangan gereja-gereja pribumi yang lain dan mulai kurang inisiatif dan bergantung kepada dunia Barat dalam Penginjilan. Tetapi sampai sekarang masih bisa dilihat dalam sejarah gereja bahwa benih yang ditabur itu masih berkembang lewat badan misi interdenominasi seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF) atau Worldwide Evangelisation for Christ (WEC) yang mendirikan Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII) di Batu-Malangyang berdomisili di Jawa Timur. Bersambung...
(Sumber diambil dari buku Gereja Misioner Bab II Hal. 14-16)
Gereja Protestan Ambon (GPM) merupakan satu perkecualian pada waktu itu. Oleh karena berkat perjuangan Josef Kam, GPM memiliki jauh lebih banyak tenaga, juga tenaga pribumi orang Indonesia dipakai untuk menginjili orang yang belum beragama Kristen. Pada tahun 1882, GPM membawa Injil ke Tanimbar dan sesudah itu ke pulai Kai dan Babar. Selain itu mereka mulai aktif di Seram dan di Papua, secara khusus di Fak-Fak dan di Merauke. Pada waktu gereja Indonesia belum
berjiwa misi GPM bersedia berkorban di tempat di mana belum ada orang Kristen. GPM sendiri membiayai para penginjil dan guru yang harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman mereka lewat 'fonds Indjil.' Kolekte ini diambil oleh kelompok 'Ora et labore' yang sangat setia. Walaupun GPM tidak terbeban untuk penginjilan di antara tetangga mereka yang beragama Islam, mereka bersedia menaati Amanat Agung untuk membawa kabar baik ke pulau-pulau yang lain yang masih animis.
Gereja di Sanggir-Talaud, Halmahera, Sumba dan Irian Jaya dipelopori penginjil atau guru sekolah yang datang dari Ambon untuk membawa Injil kepada masyarakat di pulau-pulau yang lain. Ini merupakan cara bagaimana GPM menaati Amanat Agung. Selain gerakan ini, orang secara pribadi tidak teratur menyaksikan Injil pada waktu mereka merantau ke daerah yang lain. Seperti orang Minahasa yang misalnya merantau ke daerah Toraja (bdk. Mueller-Krueger, 1968: 160, 166). Orang Kristen ini tidak diutus oleh gereja mereka untuk memberitakan Injil, melainkan mereka menaati Amanat Agung lewat kesaksian hidup di lingkungan mereka.
Gereja Jawa mengalami perkembangan yang cukup berbeda daripada gereja Indonesia yang lain. Misionaris Barat yang melayani di pulau Jawa seperti Jellesma di Jawa Timur lebih cepat melibatkan orang pribumi dalam penginjilan, atau gereja di Jawa Tengah yang memberitakan Injil di antara orang Jawa di Lampung Sumatera Selatan dan para pekerja perkebunan di Sumatera Utara, selain itu orang Jawa juga pergi untuk menginjili orang Bali di pulau Bali, tetapi sesudah generasi pertama orang Barat meninggal, gereja Jawa pun ikut perkembangan gereja-gereja pribumi yang lain dan mulai kurang inisiatif dan bergantung kepada dunia Barat dalam Penginjilan. Tetapi sampai sekarang masih bisa dilihat dalam sejarah gereja bahwa benih yang ditabur itu masih berkembang lewat badan misi interdenominasi seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF) atau Worldwide Evangelisation for Christ (WEC) yang mendirikan Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII) di Batu-Malangyang berdomisili di Jawa Timur. Bersambung...
(Sumber diambil dari buku Gereja Misioner Bab II Hal. 14-16)