Pembalikkan Keadaan
(Kisah Para Rasul 9: 1-9)
Ini sering terjadi pada olahraga tinju. Sang juara dunia memasuki gelanggang dengan lagak arogan, keyakinan tinggi, iringan musik megah, sabuk di pinggan dan bayaran lebih mahal. Namun, pada saat ia kalah, ia keluar dengan muka bengap yang disembunyikan tudung, sembunyi-sembunyi, penuh sesal dan malu.
Keadaan seperti ini juga dialami oleh Saulus. Sebelum penampakan Yesus Kristus kepada dirinya (kristofani), ia pergi ke Damsyik dengan hati yang berkobar-kobar untuk menganiaya orang-orang Kristen, dan dengan kekuasaan dan kekuatan (1,2). Tetapi kemudian keadaan berbalik, ia memasuki dan tinggal di Damsyik sebagai orang yang tidak makan dan minum selama tiga hari (9), sebagai orang yang tidak dapat melihat, dan harus dituntun orang lain. Saulus juga berangkat ke Damsyik sebagaian orang yang membenci para pengikut Tuhan (1-2), tetapi kemudian ia memanggil Yesus sebagai Tuhan (5; dalam tradisi kerabian Yahudi, suara dari langit selalu berkonotasi teofani/penyataan dari Tuhan). Ia berangkat ke Damsyik dengan rencana matang apa yang harus ia lakukan di sana (2), tetapi kemudian memasuki Damsyik dengan penantian perintah selanjutnya dari Tuhan tanpa mengetahui apa yang akan terjadi (6).
Pertobatan Saulus diawali oleh suatu pembalikan keadaan. Arogansi dan keyakinannya bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan hati Allah hanya dapat dihancurkan melalui peristiwa ini. Secara dramatis Saulus disadarkan bahwa apa yang dilakukannya justru merupakan penganiayaan terhadap diri Tuhan sendiri, tidak hanya kepada Tuhan. Dari sinilah jalan pertobatan Saulus dimulai.
Renungkan: Allah memakai keterpurukan dan pembalikkan keadaan yang dialami seseorang untuk menuntunnya kepada pertobatan.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Kisah Para Rasul hari ke-25
Keadaan seperti ini juga dialami oleh Saulus. Sebelum penampakan Yesus Kristus kepada dirinya (kristofani), ia pergi ke Damsyik dengan hati yang berkobar-kobar untuk menganiaya orang-orang Kristen, dan dengan kekuasaan dan kekuatan (1,2). Tetapi kemudian keadaan berbalik, ia memasuki dan tinggal di Damsyik sebagai orang yang tidak makan dan minum selama tiga hari (9), sebagai orang yang tidak dapat melihat, dan harus dituntun orang lain. Saulus juga berangkat ke Damsyik sebagaian orang yang membenci para pengikut Tuhan (1-2), tetapi kemudian ia memanggil Yesus sebagai Tuhan (5; dalam tradisi kerabian Yahudi, suara dari langit selalu berkonotasi teofani/penyataan dari Tuhan). Ia berangkat ke Damsyik dengan rencana matang apa yang harus ia lakukan di sana (2), tetapi kemudian memasuki Damsyik dengan penantian perintah selanjutnya dari Tuhan tanpa mengetahui apa yang akan terjadi (6).
Pertobatan Saulus diawali oleh suatu pembalikan keadaan. Arogansi dan keyakinannya bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan hati Allah hanya dapat dihancurkan melalui peristiwa ini. Secara dramatis Saulus disadarkan bahwa apa yang dilakukannya justru merupakan penganiayaan terhadap diri Tuhan sendiri, tidak hanya kepada Tuhan. Dari sinilah jalan pertobatan Saulus dimulai.
Renungkan: Allah memakai keterpurukan dan pembalikkan keadaan yang dialami seseorang untuk menuntunnya kepada pertobatan.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Kisah Para Rasul hari ke-25