Merespons Kasih Allah
(1 Yohanes 3: 1-10)
Relasi manusia dengan Allah terjadi karena kasih Allah yang dianugerahkan pada manusia. Kasih itu membuat kita layak disebut anak-anak Allah (1). Apa artinya?
Kasih Allah dinyatakan kepada semua orang melalui pengorbanan Yesus (Yoh. 3: 16). Orang yang percaya kepada Yesus dan menyambut kasih itu, diberi hak menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1: 12; Rm. 8: 16). Selanjutnya, kita harus semakin serupa dengan Yesus. Bukan berarti kita akan kehilangan kepribadian kita, lalu diganti dengan kepribadian dan karakter yang Allah berikan pada kita. Bukan demikian! Kita tetap menjadi diri sendiri, tetapi karakter dan natur kita akan disempurnakan ke dalam gambaran kesempurnaan Yesus (2). Walau demikian, kita masih akan melalui perjalanan panjang. Tidak ada seorang pun dari kita yang mencapai garis finish, sampai kita bertemu dengan Yesus. Pada saat itulah kita benar-benar akan menyerupai Dia.
Mengetahui tujuan kekal dan memiliki pengharapan akan mencapai tujuan itu, memotivasi kita untuk memelihara kekudusan hidup. Bila kita tahu bahwa akhir hidup adalah berjumpa dengan Yesus, tentu kita ingin memulainya sejak sekarang. Itu membuat kita ingin melayani dan menyenangkan Dia. Kita tidak ingin melakukan dosa lagi karena itu berarti tidak menghargai Dia.
Dalam Roma 6, Paulus menjelaskan bahwa ketika dosa-dosa diampuni dan anugerah Allah dinyatakan, orang berubah secara radikal, manusia lama mati dan manusia baru hidup. Bila orang mengakui diri sebagai ciptaan baru dalam Kristus, tetapi tetap merasa nyaman dalam kebiasaan dosa, itu patut dipertanyakan. Sebab gaya hidup berdosa bertentangan dengan gaya hidup benar, berlaku benar dan mengasihi saudara.
Renungkan: Meski Allah mengasihi kita berdasarkan inisiatif-Nya sendiri, hendaknya kita menyatakan respons kita dengan terus berjalan di dalam kebenaran, dalam setiap aspeknya.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Yakobus 1: 1 – Wahyu 22: 21 hari ke-42
Kasih Allah dinyatakan kepada semua orang melalui pengorbanan Yesus (Yoh. 3: 16). Orang yang percaya kepada Yesus dan menyambut kasih itu, diberi hak menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1: 12; Rm. 8: 16). Selanjutnya, kita harus semakin serupa dengan Yesus. Bukan berarti kita akan kehilangan kepribadian kita, lalu diganti dengan kepribadian dan karakter yang Allah berikan pada kita. Bukan demikian! Kita tetap menjadi diri sendiri, tetapi karakter dan natur kita akan disempurnakan ke dalam gambaran kesempurnaan Yesus (2). Walau demikian, kita masih akan melalui perjalanan panjang. Tidak ada seorang pun dari kita yang mencapai garis finish, sampai kita bertemu dengan Yesus. Pada saat itulah kita benar-benar akan menyerupai Dia.
Mengetahui tujuan kekal dan memiliki pengharapan akan mencapai tujuan itu, memotivasi kita untuk memelihara kekudusan hidup. Bila kita tahu bahwa akhir hidup adalah berjumpa dengan Yesus, tentu kita ingin memulainya sejak sekarang. Itu membuat kita ingin melayani dan menyenangkan Dia. Kita tidak ingin melakukan dosa lagi karena itu berarti tidak menghargai Dia.
Dalam Roma 6, Paulus menjelaskan bahwa ketika dosa-dosa diampuni dan anugerah Allah dinyatakan, orang berubah secara radikal, manusia lama mati dan manusia baru hidup. Bila orang mengakui diri sebagai ciptaan baru dalam Kristus, tetapi tetap merasa nyaman dalam kebiasaan dosa, itu patut dipertanyakan. Sebab gaya hidup berdosa bertentangan dengan gaya hidup benar, berlaku benar dan mengasihi saudara.
Renungkan: Meski Allah mengasihi kita berdasarkan inisiatif-Nya sendiri, hendaknya kita menyatakan respons kita dengan terus berjalan di dalam kebenaran, dalam setiap aspeknya.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Yakobus 1: 1 – Wahyu 22: 21 hari ke-42