Kuduslah Kamu, Sebab Aku Kudus
(Imamat 19: 1-18)
Perikop ini merupakan bagian dari “hukum kesucian” pada Imamat 17-26. Hukum kesucian berisi perintah-perintah Tuhan kepada umat Israel untuk menjaga kesucian dalam kehidupan sehari-hari. Ayat kunci hukum kesucian ada pada ayat 2 “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus.” Bahkan dapat dikatakan, bahwa ayat ini merupakan kunci untuk memahami seluruh kitab Imamat.
Sering kali ayat kunci ini ditafsirkan demikian: “ Manusia diharuskan dan diperintahkan untuk hidup kudus karena Tuhan menguduskan diri, untuk sama dengan Allah yang kudus.” Jika tafsiran ini benar, maka tentu saja ini merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebenarnya, kata “Kuduslah kamu” dalam bahasa Ibrani bukanlah sebuah kalimat perintah melainkan sebuah kalimat pernyataan. Maka harus ditafsrikan demikian: Tuhan Allah umat Israel, itu kudus. Oleh karena Allah itu kudus, maka umat-Nya juga akan menjadi kudus, atau lebih tepatnya umat disertai oleh Tuhan untuk berproses menjadi kudus. Proses menjadi kudus ini bukanlah usaha manusia sendiri, melainkan anugerah Tuhan. Proses ini merupakan sebuah proses “pembaruan budi” seperti yang diberitakan Paulus di Roma 12: 1-2.
Karena umat Tuhan disertai Tuhan yang kudus, maka umat harus mau diproses menjadi kudus dalam segala aspek kehidupan. Pertama, kudus dalam relasi dengan Tuhan (3-8). Kudus dalam aspek ini berarti melakukan apa yang menyenangkan Tuhan. Kedua, kudus dalam relasi dengan sesama (9-18). Kudus dalam aspek ini berarti melakukan kebaikan untuk sesama sesuai dengan karakter Tuhan. Penegasan untuk kudus ini terlihat dari pengulangan frasa, “Akulah Tuhan…” (3,4,10,12,14,16,18).
Oleh anugerah Tuhan, kita telah diselamatkan dari hukuman dosa. Atas anugerah-Nya pula, kita disertai dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat hidup kudus. Oleh karena itu, serahkanlah diri kita kepada Tuhan hari demi hari dan dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga kita dimampukan untuk hidup kudus.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Imamat hari ke-27
Sering kali ayat kunci ini ditafsirkan demikian: “ Manusia diharuskan dan diperintahkan untuk hidup kudus karena Tuhan menguduskan diri, untuk sama dengan Allah yang kudus.” Jika tafsiran ini benar, maka tentu saja ini merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebenarnya, kata “Kuduslah kamu” dalam bahasa Ibrani bukanlah sebuah kalimat perintah melainkan sebuah kalimat pernyataan. Maka harus ditafsrikan demikian: Tuhan Allah umat Israel, itu kudus. Oleh karena Allah itu kudus, maka umat-Nya juga akan menjadi kudus, atau lebih tepatnya umat disertai oleh Tuhan untuk berproses menjadi kudus. Proses menjadi kudus ini bukanlah usaha manusia sendiri, melainkan anugerah Tuhan. Proses ini merupakan sebuah proses “pembaruan budi” seperti yang diberitakan Paulus di Roma 12: 1-2.
Karena umat Tuhan disertai Tuhan yang kudus, maka umat harus mau diproses menjadi kudus dalam segala aspek kehidupan. Pertama, kudus dalam relasi dengan Tuhan (3-8). Kudus dalam aspek ini berarti melakukan apa yang menyenangkan Tuhan. Kedua, kudus dalam relasi dengan sesama (9-18). Kudus dalam aspek ini berarti melakukan kebaikan untuk sesama sesuai dengan karakter Tuhan. Penegasan untuk kudus ini terlihat dari pengulangan frasa, “Akulah Tuhan…” (3,4,10,12,14,16,18).
Oleh anugerah Tuhan, kita telah diselamatkan dari hukuman dosa. Atas anugerah-Nya pula, kita disertai dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat hidup kudus. Oleh karena itu, serahkanlah diri kita kepada Tuhan hari demi hari dan dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga kita dimampukan untuk hidup kudus.
Sumber: Santapan Harian edisi Kitab Imamat hari ke-27