Belajar Menerima Hajaran Tuhan
( Ayub 5: 1-27 )
Tuhan Tuhan seumpama bapak atau guru yang baik. Ia membimbing anak-anak-Nya ke sasaran yang mulia melalui proses belajar yang panjang dan berat. Pelajaran yang ingin Allah tanamkan dalam kehidupan anak-anak-Nya, ialah tidak adasumber pertolongan orang lain yang lebih berkuasa selain diri Allah (1). Ia menghendaki agar anak-anak-Nya berhikmat dan bukan bertindak bodoh (3). Ia ingin anak-anak-Nya belajar memilih Dia dan kehendak-Nya sebagai harta berharga dalam kehidupan mereka (8-16). Ajaran Tuhan itu bisa berbentuk hajaran yang melukai dan berbagai kesukaran hidup lainnya. Meski begitu, Ia adalah Allah yang mahabaik. Ia menghajar bukan untuk meremukan, tetapi untuk memulihkan dan menyempurnakan orang yang dikasihi-Nya (18). Demikianlah wejangan Elifas untuk Ayub.
Tentu saja semua wejangan itu benar dan bukan barang baru bagi Ayub. Lagi pula, kebenaran isi wejangan itu pun bukan teori lagi bagi Ayub, sebab ia sedang mengalaminya. Tidak salah jika Elifas mengingatkan orang seperti Ayub mengenai kebenaran dan prinsip hidup yang sudah diketahuinya bahkan sedang dijalaninya. Tidak ada salahnya juga mengingatkan kembali kepada orang-orang yang sedang menanggung penderitaan, janji-janji pemulihan dari Tuhan. Orang yang saleh seperti Ayub pun masih perlu diingatkan, ditegur dan diteguhkan.
Ironisnya, Elifas mencoba berperan sebagai sang guru sejati. Ia terlalu cepat ingin mengajar orang lain, padahal diri belum tentu memahami kebenaran itu secara mendalam. Selain itu, Elifas tanpa disadari memutarbalikan prinsip kebenaran umum menjadi kebenaran khusus. Prinsip umum harus memperhitungkan latar belakang dan konteks hidup. Demikian pula pengalaman khusus seseorang tidak dapat begitu saja dijadikan prinsip kebenaran umum yang berlaku universal.
Renungkan: Saat kita mengalami didikan Tuhan, terimalah hal itu dengan kerendahan hati dan sukacita.
Tentu saja semua wejangan itu benar dan bukan barang baru bagi Ayub. Lagi pula, kebenaran isi wejangan itu pun bukan teori lagi bagi Ayub, sebab ia sedang mengalaminya. Tidak salah jika Elifas mengingatkan orang seperti Ayub mengenai kebenaran dan prinsip hidup yang sudah diketahuinya bahkan sedang dijalaninya. Tidak ada salahnya juga mengingatkan kembali kepada orang-orang yang sedang menanggung penderitaan, janji-janji pemulihan dari Tuhan. Orang yang saleh seperti Ayub pun masih perlu diingatkan, ditegur dan diteguhkan.
Ironisnya, Elifas mencoba berperan sebagai sang guru sejati. Ia terlalu cepat ingin mengajar orang lain, padahal diri belum tentu memahami kebenaran itu secara mendalam. Selain itu, Elifas tanpa disadari memutarbalikan prinsip kebenaran umum menjadi kebenaran khusus. Prinsip umum harus memperhitungkan latar belakang dan konteks hidup. Demikian pula pengalaman khusus seseorang tidak dapat begitu saja dijadikan prinsip kebenaran umum yang berlaku universal.
Renungkan: Saat kita mengalami didikan Tuhan, terimalah hal itu dengan kerendahan hati dan sukacita.